Rabu, 03 Maret 2010

visi dan misi perusahaan Wings dengan produk shampo emeron

Tugas mengenai Perusahaan

PROFIL PERUSAHAAN WINGS


Didirikan pada tahun 1891, Lion Corporation bertekad untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan memperkaya kehidupan umat manusia. Inovasi produk yang menawarkan nilai tambah maksimum senantiasa diupayakan untuk mengantisipasi keinginan konsumen kami.

Lion Corporation memiliki range produk yang sangat luas antara lain pasta gigi, sikat gigi, kosmetik, sabun, shampoo, detergent, detergent pencuci piring, pembersih alat-alat kebutuhan rumah tangga, hingga makanan dan obat-obatan. Semua produk-produk Lion corp. ini ditunjang dengan brand yang kuat dan market share yang tinggi di tiap-tiap market yang dimasukinya.

Lion corp memiliki pengalaman yang panjang di Asia. Kerjasama dengan Wings grup, salah satu pemain terbesar di Indonesia untuk produk yang sama, Lion Corp. membentuk PT Lionindojaya pada tahun 1981. Sejak itu, Lionindojaya memantapkan posisinya di bidang marketing dan produksi dan untuk memenuhi permintaan yang terus membesar.

PT Lionindo telah memproduksi dan memasarkan produk-produk kepada berbagai segmen pasar dengan merek yang terkenal, bahkan saat ini Lionindojaya telah sukses menembus pasar eksport ke lebih dari 55 negara di seluruh dunia.

Seiring dengan perubahan komposisi kepemilikan saham, terhitung sejak awal tahun 2004, PT Lionindojaya berganti nama menjadi PT Lion Wings. Pergantian nama ini mencerminkan betapa perusahaan terus berkembang secara dinamis. Dengan menyandang nama baru, perusahaan berkomitmen untuk melayani pelanggan dan konsumen dengan lebih baik lagi.


Nama Perusahaan : PT Lion Wings (sebelumnya PT Lionindojaya)

Tahun didirikan : 1981

Perusahaan Induk : Lion Corporation Jepang dan Grup Wings Indonesia

Visi Perusahaan :
berusaha untuk dapat memenuhi KEPUASAN PELANGGAN

Misi Perusahaan :
untuk mencapai Visi perusahaan, kami menerapkan policy untuk melakukan perbaikan terus-menerus dalam:
- Kualitas Produk
- Effisiensi Produksi
- Disiplin Waktu
- Konsistensi dalam Quality


contoh produk :
Hair Care

Emeron shampoo, Botanical Shampoo, Zinc Shampoo, Kodomo shampoo
Oral Care
Ciptadent toothpaste, Ciptadent toothbrush, Smile Up toothpaste, Smile Up toothbrush, Fresh & White toothpaste, Fresh & White toothbrush, Fluordent toothpaste, Zact toothpaste, Kodomo toothpaste, Kodomo toothbrush, systema toothbrush
Skin Care
Emeron Hand& Body lotion variant: Pink (Mawar), dan Mangir

Emeron White (Whitening) series: Hand&Body lotion, Face Tonic, Milk Cleanser dan Scrub
Children Toiletries
Kodomo series : shampoo, sabun mandi cair, toothpaste, dan toothbrush
Dishwashing Liquid
Mama Lemon, Mama Lime, & Mama Ultra
OTHERS

Botanical series:
Sabun mandi cair (liquid body soap), Shampoo, dan Pembersih wajah (Facial Cleanser)

Lotion anti nyamuk Lavenda


Cari Produk
Perubahan Nama Perusahaan

Seiring dengan perkembangan yang terjadi di dalam perusahaan, efektif per awal tahun 2004, PT LIONINDOJAYA berganti nama menjadi PT LION WINGS.

Bermula dari home industry, Grup Wings menjelma menjadi raksasa bisnis toiletries yang disegani. Bisnisnya merambah ke berbagai sektor usaha dari hulu hingga ke hilir dengan omset triliunan rupiah. Bagaimana wajah
konglomerat baru ini sekarang?

Inilah kisahnya :

Saat jarum jam menunjukkan pukul 06.30 WIB,keluarga besar Katuari berkabung. Ayahanda dan opa tercinta, Johannes Ferdinand Katuari (Oen Yong Khing), wafat dalam usia 90 tahun. Padahal, belum ada 100 hari sebelumnya, Ferdinand masih bugar merayakan pesta perkawinan intan (60 tahun) di Hotel Shangri-La, Surabaya.

Masih segar dalam ingatan, Ferdinand duduk manis di samping istri tercinta, Lanny Hartati (Tan Thiam Lan) dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, menyaksikan salah seorang putranya, Freddy I. Katuari, menari balet di hadapan tamu undangan.

Rupanya, pesta ulang tahun perkawinan yang meriah itu sekaligus perpisahan dengan sang guru, perintis, sesepuh, dan pimpinan Grup Wings. Ferdinand sebagai sosok pengayom tidak hanya meninggalkan seorang istri, lima putra-putri, 25 cucu dan cicit, serta puluhan keponakan, tetapi juga mewariskan konglomerasi masa depan bernama Grup Wings.

Perusahaan besar bermarkas di Surabaya ini mulanya cuma usaha kecil berskala home industry, yang didirikan Ferdinand bersama kerabatnya, Harjo Sutanto, tahun 1948. Diberi nama Fa Wings, mula-mula membangun pabrik kecil di pinggiran Surabaya, memproduksi sabun cuci deterjen (sabun colek). Mereknya Wings, yang hingga sekarang masih diabadikan sebagai corporate brand.

Kedua pendiri itu melakukan semua pekerjaan mulai dari produksi, logistik hingga pemasarannya. Keduanya terjun langsung menjual sabun colek produksinya secara door-to-door.

Setelah 55 tahun berdiri. Fa Wings berubah total menjadi Grup Wings yang meraksasa seperti sekarang. Meskipun tetap mempertahankan bisnis utamanya memproduksi sabun colek (toiletries), Wings kini telah merambah ke berbagai bidang usaha: mulai dari bidang perbankan, makanan, perkebunan, bahan
bangunan hingga properti.

Di bidang toiletries, Wings berhasil tampil sebagai jawara lokal menandingi perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever serta Procter & Gamble (P & G). Bahkan, Wings makin menunjukkan dominasinya karena memiliki bidang usaha pendukung, seperti produksi bahan kimia, pabrik kemasan, biro iklan, yang belum sepenuhnya dimiliki perusahaan-perusahaan multinasional itu.

Produk-produk toiletries Wings menyebar di tengah masyarakat. Sebut saja, deterjen Wings, Giv, Ciptadent, Mama Lemon, So Klin, Daia, dan sebagainya. Masing-masing pasti menempel ketat produk sejenis milik pesaing. Sabun Giv bersaing dengan Lux, Nuvo dengan Lifebuoy, So Klin dengan Rinso, Daia berhadapan dengan Surf, So Klin Pewangi bersaing dengan Molto. Smile-Up melawan Close Up, Hers Protec melawan Kotex, Kodomo versus Pepsodent Junior, Mama Lemon melawan Sunlight, So Klin Matic versus Rinso Matic, So Klin Tenaga Surya vs. Rinso Ultra, serta sederet persaingan lainnya.

Semua itu memperlihatkan Wings siap meladeni Unilever dengan napas panjang. Ini bukan pekerjaan mudah dan tak semua pemain berani melakukannya. Terlebih Unilever dikenal sebagai pemasar ulung yang sangat berani menggarap pasar.

Bila disimak, kehebatan Grup Wings warisan Ferdinand ini lebih mengemuka pada tahun-tahun setelah krismon. Di tengah gelombang pencaplokan sejumlah perusahaan besar lokal oleh perusahaan multinasional, Wings tetap bertahan tanpa campur tangan asing. Tak satu pun asetnya yang berpindah tangan ke perusahaan atau grup lain gara-gara kesulitan keuangan. Justru sebaliknya, setelah krismon, Wings malah masuk di bidang-bidang bisnis yang belum disentuh sebelumnya alias berekspansi.

Di bisnis fast moving consumer goods (FMCG) yang selama ini menjadi core business-nya, kinerja pemasaran Wings tetap cemerlang. “Ketika krisis, pendapatan kami tidak turun, tapi biaya produksi meningkat karena harga bahan baku naik,” jelas Eddy William Katuari, putra keempat Ferdinand, kepada SWA yang mewawancarainya di salah satu restoran di Hotel JW Marriot Surabaya.

Padahal, mengelola bisnis FMCG tidak mudah. Banyak industri sejenis, termasuk di tingkat regional, yang ambruk dilalap perusahaan multinasional. Di Malaysia, misalnya, pemain lokal bidang toiletries sudah mati, dimakan pangsanya oleh sejumlah pemain global seperti P & G dan Unilever. Di Thailand, negeri yang dikenal sebagai macan Asia Tenggara, fenomenanya setali tiga uang, pemain toiletries lokal juga sudah habis. P & G amat kuat di Negeri Gajah Putih itu.

Di Filipina pun demikian. “Di Filipina pemain lokalnya juga sudah habis,” tambah William yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai calon CEO Grup Wings. Di Jepang, kondisinya masih lumayan. Saat ini ada tiga perusahaan yang menguasai pasar toiletries Jepang. Pemimpin pasarnya, pemain asing (Nipon Lever), sedangkan dua pemain di bawahnya pemain lokal (Kao Corporation dan Lion Corporation).

Fenomena unik terjadi di India karena konfigurasi penguasaan pasarnya persis sama di Indonesia. Di India kini tinggal tersisa satu pemain lokal, yakni Nirma Ltd. Kini, Nirma merupakan pemain kuat yang sering membuyarkan penetrasi Hindustan Lever (representasi Grup Unilever). Yang menarik, kiprah dan strategi Nirma Ltd. ini sangat mirip Wings di Indonesia. Dan itu berarti Wings termasuk segelintir pemain langka di Asia yang berhasil mempertahankan pasar di negaranya melawan multinasional.

Dalam perkembangannya, Wings bahkan tidak hanya berkonsentrasi menggarap pasar lokal, tapi juga pasar ekspor. Sudah sejak lama Wings mengekspor produk-produk toiletries-nya. Beberapa produknya bahkan memimpin pasar. “Di sejumlah negara Afrika dan Arab kami memang market leader,” tutur William.

Saat ini, menurut sumber SWA, tak kurang dari 90 negara menjadi tujuan ekspor Wings. Penjualan ekspor ini mampu mengontribusi sekitar 30% pendapat Wings dari bisnis toiletries. Bagi pebisnis di bidang consumer goods, angka ekspor sebesar 30% adalah istimewa. Yadi Budhisetiawan, pakar distribusi dan pemasaran yang juga Direktur Pengelola Force One mengatakan, persentase itu sangat besar. “Ini tak main-main. Berarti Wings bisa beradaptasi dengan pasar luar negeri,” ujarnya. Apalagi, hampir belum ada perusahaan Indonesia yang mampu mengembangkan pasar ekspor secara massal. Indofood sebut saja, yang sudah lama mencanangkan program ekspor mi instan, sampai saat ini juga berjalan stagnan. Pasar ekspornya hanya sekitar 5%. Itu pun kabarnya disasarkan pada konsumen Indonesia yang kebetulan tinggal di luar negeri seperti TKI di Arab dan juga sebagian Hong Kong.

Yang menarik, hampir semua pakar sepakat, Wings yang kini menggurita dengan total tenaga kerja sekitar 12.000 orang, tidak dibesarkan dari koneksi atau ikatan korupsi-kolusi-nepotisme dengan pusat kekuasaan. Bisnisnya tumbuh karena kemampuannya membaca preferensi konsumen di medan pasar.

Buktinya, kalau dulu cuma melahirkan sabun colek, sekarang atas permintaan dan kebutuhan konsumen, bertambah macam-macam. Ada sabun deterjen, deterjen cair, sabun kecantikan, sabun mandi, sampo, pasta gigi, sikat gigi, sabun pencuci piring, pencuci lantai, pengharum ruangan, pelicin seterikaan, pembalut wanita, pelembut pakaian, dan seterusnya. Demikian pula merek yang dikembangkan, terus bertambah dari hari ke hari.

Sekarang tak kurang dari 40 merek sudah di tangannya, dari 150 merek yang sudah disiapkan eksekusinya. Soal penamaan, Wings tidak perlu pusing, karena ia sudah mendaftarkan ribuan nama untuk sewaktu-waktu digunakan. Yang jelas, kini di Grup Wings tiga perusahaan inti menggarap langsung bisnis toiletries, yaitu PT Sayap Mas Utama, PT Wings Surya dan PT Lionindo Jaya (patungan dengan Lion Corp., Jepang).

Kresnayana Yahya,pengamat bisnis yang juga Direktur Enciety, Surabaya, menengarai kiprah Wings persis Gudang Garam di bisnis rokok. Adapun Unilever mirip HM Sampoerna. Wings sukses karena bisa menerobos dan memimpin di white market (pasar becek) segmen sabun. Sejumlah ahli melihat Wings sangat visioner dan punya konsep yang jelas dalam menggarap industri. Sebelum memutuskan masuk di suatu industri, Wings
biasanya memikirkan bagaimana rantai pasokan ke industri itu, termasuk karakter industri dan tingkat persaingannya. Dan sudah menjadi pola ekspansi Wings, biasanya terlebih dulu menguasai industri hulu sebelum serius mengggarap hilirnya. “Industri hulu itulah kekuatan utamanya. Hanya saja, jarang yang tahu karena memang tak pernah mau diekspos,” Thomas Wibisono, Direktur Pusat Data Business Indonesia (PDBI), menambahkan.

Thomas mengamati, saat ini Wings memiliki beberapa perusahaan di industri hulu, seperti PT Aktif Indonesia Indah, PT Findeco Jaya (kerja sama dengan PT Lautan Luas), PT Petrocentral (kerja sama dengan Kodel), PT Palemcoco Surya dan PT Lionindo Jaya. Wings juga merupakan salah satu pemegang saham utama di PT Unggul Indah Cahaya (UIC), perusahaan produsen alkylbenzene — bahan baku utama deterjen — terbesar di kawasan Asia Pasifik, dengan kapasitas terpasang sekitar 210.000 metrik ton/tahun. Selain memasok Wings dan sejumlah produsen deterjen lokal, UIC juga mengekspornya ke ASEAN, Eropa, Amerika dan Australia.

Melalui salah satu anak usaha, Wings juga hadir di Vietnam. Grup ini secara tak langsung juga mengontrol bahan baku penting untuk produk-produk household cleaning karena sodium tripolyphosphate juga diproduksi salah satu anak usaha PT Unggul Indah Cahaya.

Di industri hulu, salah satu keputusan terpenting Wings ialah ketika tahun 2000 bergabung dalam konsorsium yang membeli Ecogreen Oleochemical. Ecogreen merupakan produsen oleochemical (termasuk natural fatty alcohol) terbesar di dunia (tak hanya Asia), dengan kapasitas produksi 110.000 metrik ton/tahun. Oleochemical merupakan bahan baku industri perawatan tubuh, sabun dan deterjen, makanan, plastik, farmasi, dan berbagai industri lain.

Dulu Ecogreen merupakan salah satu aset blue chip milik Grup Salim, maka namanya Salim Oleochemical. Hanya saja, Grup Salim terpaksa harus menyerahkan aset ini ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai bagian dari tanggung jawabnya karena berutang ke pemerintah dalam kasus penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Akhirnya Wings, didukung Grup Lautan Luas dan Djarum, masuk membeli aset tersebut.

Ecogreen menggunakan bahan baku berupa minyak kelapa sawit dan minyak kelapa, dibeli dari pasar lokal. Kemudian mengolahnya melalui proses pemurnian di kedua pabrik Ecogreen di Belawan, Medan (kapasitas
30.000 metrik ton/tahun) dan Batam (kapasitas 60.000 metrik ton/tahun dan segera akan ditingkatkan menjadi 80.000 metrik ton/tahun). Minyak yang sudah dimurnikan itu lalu diproses di unit pemisahan untuk menghasilkan fatty acid dan glycerine. Fatty acid itulah yang kemudian diproses menjadi fatty alcohol melalui proses hidrogenasi.

Sementara itu, sebagian fatty alcohol yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut di pabrik etoksilat di Singapore milik Ecogreen guna menghasilkan produk dengan nilai tambah lebih tinggi. Yang pasti, kini 95%
produksi Ecogreen diekspor. Pasar utamanya, negara-negara Asia (50%) seperti Jepang, Cina dan Korea, kemudian Eropa (20%) dan Amerika (20%).

Saat ini kantor pemasaran globalnya ada di AS, Jerman dan Singapura. Soal pemasaran, Ecogreen nampaknya memang tak cemas karena mempunyai perusahaan afiliasi di bidang distribusi dan pemasaran. Perusahaan
pemasaran tersebut punya kontrak jangka panjang tangki penyimpanan di Roterdam, Newark, New Jersey, dan Houston, Texas, guna melayani pengiriman tepat waktu kepada pelanggan. Ecogreen, selain di Batam dan Medan, juga mempunyai pabrik di Jerman.

Bagi Wings, keberadaan berbagai industri hulu tersebut jelas menjadi salah satu jaminan kelangsungan pasokannya ke depan. Sehingga, tak perlu khawatir harga-harga akan melonjak disebabkan kelangkaan bahan baku. Industri hulunya punya kapasitas besar, cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Penguasaan bahan baku tersebut juga memungkinkan mereka memberi nilai tambah pada produk-produknya.
Dalam konteks persaingan, menurut Thomas, kemampuan Wings tersebut memaksa para pesaing di industri hilir membeli bahan baku dari Wings, termasuk Unilever. “Unilever terpaksa harus beli dari Grup Wings. Kalau tidak, harus impor yang harganya akan lebih tinggi,” katanya. Hasil riset SWA menunjukkan, Unilever memang membeli sejumlah bahan baku dari perusahaan-perusahaan hulu tersebut. Misalnya, membeli dari PT Petrocentral dan fatty alcohol dari Ecogreen. Produk Unilever yang bahan bakunya diambil dari Ecogreen antara lain toiletries, terutama sampo dan sabun cair.

Jadi, kalau produk-produk Wings berharga lebih murah, bukan karena kualitasnya lapis dua. Ini terlihat dari komposisi bahannya banyak yang mengandung nilai lebih (added value) dibanding komposisi produk kompetitor yang ditirunya. Di sini persoalannya, Wings punya bahan baku.

Selain itu, perusahaan ini bisa bermain spread margin. Beban produksi rendah sehingga margin bisa lebih tinggi, hal ini bisa digunakan untuk menggenjot dana promosi. Atau kalau tidak, margin mereka dibuat sama dengan pemain lain tapi akhirnya harga jual eceran bisa lebih rendah. Pilihan-pilihan ini terbuka baginya.

Bila disimak, saat ini strategi integrasi industri up stream dan down stream ala Wings ini mulai menjadi tren. P & G, misalnya, kabarnya baru saja membeli perusahaan oleochemical di Sumatera. Rupanya P & G juga ingin
punya industri hulu. Sementara di Unilever, kabarnya masih terjadi perdebatan apakah mau masuk di plantation dan oleochemical untuk menjamin pasokan ataukah tetap hanya fokus di bisnis hilirnya.
Kabarnya, usulan-usulan agar masuk di industri hulu mulai mengemuka di Unilever.

Presdir PT CISI Raya Wilson Nababan melihat langkah Wings masuk di bisnis bahan baku cukup cerdik karena tidak bermain sendiri. “Mereka tak mau bermain sendiri, karena terlalu berisiko dan memerlukan modal yang besar,” katanya. Tak mengherankan, Wings menggandeng beberapa mitra, seperti Lautan Luas, Liem Sioe Liong, Djarum dan Semen Gresik.

Dilihat dalam konteks manajemen modern, kasus Wings ini unik. Ketika belakangan sejumlah perusahaan konsultan manajemen global menganjurkan korporasi modern agar menerapkan konsep value chain untuk meraih efisiensi optimal, Wings sudah menerapkannya jauh-jauh hari sebelumnya. “Saya lihat perusahaan ini sangat concern mengupayakan terciptanya value chain,” kata Yuswohadi, konsultan pemasaran dari MarkPlus & Co., menganalisis.

Analisis Yuswo nampaknya tak jauh dari fakta. Soalnya, untuk menekan ongkos produksi Wings membuat production house tersendiri. Distribusi produk juga dikelola sendiri. Termasuk untuk kebutuhan kemasan, Wings juga mendirikan perusahaan sendiri. Tahun 1983 Wings mendirikan PT Multipack, perusahaan
kemasan yang menghasilkan plastic container dan kemasan sachet. Pabriknya ada di Jakarta. Sementara pabrik kemasan di Surabaya memproduksi kemasan dalam bentuk corrugated card boxes. Tahun 2002
Wings kembali mendirikan perusahaan kemasan, PT Unipack, fokus di kemasan fleksibel untuk produk personal care dan makanan.

William mengelak bila dikatakan grupnya kompetitif karena punya industri hulu. “Tidak mungkin. Di perusahaan-perusahaan itu kan ada pemegang saham lain. Mereka bisa marah kalau jual harga lebih murah ke kami,” katanya. Menurutnya, anak-anak usaha dijalankan secara independen. “Kalau semua produk mereka kami beli, mereka jadi nggak kompetitif karena tidak mau riset, tidak mau cari pasar. Itu tak baik untuk jangka panjang,” katanya lagi. Lebih lanjut ia menjelaskan, Wings selama ini selalu menerapkan sistem multi supplier agar tak tergantung pada satu perusahaan dan bisa membandingkan.

Yang pasti, kini, selain punya penguasaan pasar signifikan di bisnis toiletries, Wings juga sudah melakukan ekspansi bisnis. Namun, dibanding konglomerasi Zaman Orde Baru, ekspansi Wings memang nampak lebih
konservatif. Dengan berbagai investasi di luar bisnis toiletries yang kini dikembangkan, portofolio bisnis Wings kini lumayan terdiversifikasi. Di bisnis personal care, contohnya, saat ini Wings mulai masuk di bisnis
wewangian, melalui merek Fresh & Fresh.

Sumber SWA mengatakan, kosmetik akan menjadi prioritas bisnis Wings di masa depan. Selain karena memiliki kesinambungan bahan baku, Wings juga memiliki pakar parfum lulusan sekolah parfum di Prancis, yakni Fifi Sutanto, putri sang pendiri satunya. Dari tangan Fifi, kini produk-produk toiletries Wings merasakan manfaatnya, karena memiliki aroma khas yang disukai para ibu rumah tangga.

Wings juga masuk ke bisnis properti. Grup ini memiliki sejumlah proyek perumahan yang lumayan prestisius. Wings biasanya memilih lokasi yang sekitarnya tumbuh industri, sehingga memunculkan kelas menengah-atas baru. Saat ini proyek perumahan yang dimiliki dan dikembangkan Grup Wings ada di empat kota, yakni Surabaya, Gresik, Cilegon dan Jakarta.

Di Subaraya, Grup Wings membangun kompleks perumahan Nirwana Eksekutif, Palem Indah dan Palem Indah Permai. Sementara di Jakarta, Grup Wings mengembangkan kompleks perumahaan yang cukup elite di Cibubur, Rafless Hills, yang kini cukup intesif di-brand-kan melalui acara Akademi Fantasi Indosiar.

Rafless Hill awalnya dikembangkan PT Gunung Subur Sentosa, tapi saat krisis mengalami kesulitan likuiditas sehingga kemudian diambil alih Wings. Proyek seluas 145 hektare ini dilengkapi dengan country club, dengan fasilitas olah raga yang lengkap serta spa. Saat ini, di antara keluarga Wings, yang paling intens mengurusi Rafless Hill ialah F. Henry Katuari, putra bungsu Ferdinand.

Masih di bisnis properti, selain bermain di sektor perumahan, Wings juga membangun properti ritel komersial, yakni Pulau Gadung Trade Center, atas nama PT Nagaraja Lestari. Namun, di proyek ini Wings tak sendirian, berkolaborasi dengan Grup Djarum. Sinergi seperti ini bisa dilakukan karena ada faktor pemicunya: Wings dan Djarum sudah menjalin hubungan besan. Cucu dalam Ferdinand Katuari, Grace L. Katuari, menikah dengan Martin B. Hartono, generasi ketiga Djarum.

Tak mengherankan, sebenarnya kerja sama Wings dan Djarum tak hanya di Pulau Gadung Trade Center, tapi juga di PT Ecogreen Oleochemical. Bersama Grup Lautan Luas, Wings dan Djarum bahu-membahu membeli Salim Oleochemical di BPPN beberapa waktu lalu. Hal ini nampak jelas dari daftar kepemilikan saham di Ecogreen — Eddy William Katuari dan Fifi Sutanto (keduanya reprentasi dari Grup Wings) menguasai 47,7% saham, kemudian Robert Budi Hartono (Djarum) 19% dan Jimmy Masri (Lautan Luas) 33%.

Di luar pengetahuan orang banyak, Grup Wings sebenarnya juga punya bisnis bahan bangunan. Bahkan, telah digeluti sejak 1989, mulai dari Surabaya. Bisa jadi tak banyak yang menyangka, keramik lantai yang cukup populer merek Milan (Milan Ceramics) sebenarnya milik Wings. Wings menggarapnya melalui PT Adyabuana Persada, yang selain memproduksi Milan juga Hercules.

Kini Milan Ceramics termasuk merek yang paling massal pemasarannya, sejajar dengan Mulia, Asia Tile, Platinum, Super Italia, Granito dan Niro. Namun dilihat positioning-nya, Milan bermain di segmen medium. Sedikit lebih tinggi dari Mulia, tapi di bawah Niro atau Granito. Masih di bisnis bangunan, selain masuk di keramik, Wings juga masuk di bisnis papan gypsum dan plaster gypsum. Pada proyek ini Wings menggandeng
Siam Cement (Thailand) sebagai mitra investasi. Bisnisnya jalan sejak 1997, menggunakan bendera PT Siam-Indo Gypsum Industry. Merek yang dikembangkan, Elephant. Di segmen ini pesaing utamanya adalah Jayaboard.

Masih bekerja sama dengan Siam Cement, Wings juga memproduksi bahan-bahan semen fiber untuk pengatapan. Bendera yang dipakai, PT Siam Indo Concrete Product. Tak berhenti di situ, Wings masuk pula di bisnis genteng keramik clay. Saat ini mereknya sudah cukup populer, M-Class. Manufakturing M-Class
dipusatkan di tepian Jakarta, dengan pabrik seluas 15 ha.

Di sektor perbankan, Wings tak mau ketinggalan, meski kiprahnya tak semenonjol Grup Lippo atau Sinar Mas. Wings mengibarkan Bank Ekonomi, bank yang mengambil positioning sebagai bank yang melayani sektor korporat. Menurut sumber SWA, Bank Ekonomi selama ini fokus melayani kredit buat usaha kecil dan menengah. Kini Bank Ekonomi beroperasi di 20 kota dengan dukungan 55 cabang. Menurut data internal, akhir 2003 total aset Bank Ekonomi ditaksir mencapai US$ 1 miliar (Rp 8 triliun). Dari keluarga Katuari, yang cukup intens terlibat di Bank Ekonomi ialah Denny Katuari (generasi ketiga), yang juga aktif di kepengurusan Perbanas.

Masih di sektor keuangan, Wings juga ikut menggarap bisnis sekuritas. Tepatnya dilakukan sejak 1994 dengan mengakuisisi PT UOB Kay Hian Securitas. Namun, perusahaan sekuritas ini tak terlalu menonjol. Tahun 2001 Wings kembali mengorbitkan perusahaan sekuritas, namanya EkoKapital Securitas, berpusat di Jakarta dan membuka cabang di Surabaya. EkoKapital Securitas menawarkan jasa equity brokerage, financial advisory, serta layanan perdagangan fixed income.

Tak bisa dilupakan, salah satu ekspansi monumental Wings yang membuat ketar-ketir sejumlah pemain besar ialah masuknya grup ini ke bisnis makanan dan minuman. Melalui PT Kurnia Alam Segar, Wings meluncurkan Jas Jus dan Segar Dingin. Wings cukup intens mengomunikasikan kedua produk baru itu.

Tak ketinggalan, yang juga heboh, peluncuran Mie Sedaap. Banyak pihak yang menilai, masuknya Wings di bisnis mi instan karena pertumbuhan bisnis toiletries kini datar-datar saja. Sehingga, seperti yang dilakukan Unilever, Wings juga melakukan ekspansi horisontal dengan masuk di mi instan. Tak cukup lagi hanya mengandalkan ekspansi vertikal di bidang-bidang yang selama ini telah digarap. Namun, William menampik hal itu. “Kami sering ditanya mitra distributor dan retailer, kenapa you nggak jual mi. Ada permintaan dari mitra. Akhirnya, kami jual juga,” katanya.

Wings diprediksi banyak pihak akan terus berekspansi ke bidang-bidang yang masuk akal. Akan masuk di bisnis minyak goreng instan? “Belum ada rencana,” jawab William pendek. Dalam hitung-hitungan SWA, bukan tak mungkin ke depan Wings juga masuk di bisnis minyak goreng, soalnya saat ini Wings juga sudah
punya plantation dan fasilitas produksi crude palm oil. Industri hulunya sudah ada meski belum sebesar yang dimiliki Grup Sinar Mas, Astra, atau Salim.

Grup Wings memiliki dua lahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Yakni, PT Gawi Makmur Kalimantan dan PT Damir Mitra Sekawan. Hasil dari kebun ini selain dijadikan minyak kelapa sawit yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oleochemical, bisa juga diarahkan menjadi minyak goreng.

Yang pasti, kini dua area perkebunan seluas 26.000 ha itu dilengkapi proses manufakturing yang dijadwalkan mulai produksi 2005. Total kapasitas produksinya 60.000 metrik ton/tahun. Malahan juga dilengkapi dengan
instalasi mesin untuk pemrosesan fresh fruit bunch, berkapasitas 105 ton. “Ke depan kami tetap akan mencari peluang-peluang tambahan untuk melakukan land & palm oil acquisition,” informasi valid dari sumber internal Grup Wings.

Berapa omset bisnis Grup Wings? “Kalau Rp 5 triliun, tak kurang,” kata Kresnayana. Kalkulasi Wngs nampaknya tak meleset, bahkan konservatif. Pasalnya, di bisnis toiletries saja, kabarnya omsetnya lebih dari Rp 3,5 triliun. Ini belum termasuk pendapatan dari sejumlah penyertaan, seperti di UIC, Ecogreen, properti, bisnis keramik, asbes dan semen fiber. Jadi, angka itu amat konservatif. Menurut data PDBI, tahun 2002 omset Wings dari toiletries Rp 3,25 triliun.

Wilson Nababan dan Thomas Wibisono memprediksi Wings bakal menjadi konglomerat masa depan kalau konsisten menjalankan strateginya selama ini. “Mereka sangat solid. Grup ini merupakan pengganti konglomerat lama yang kini tengah dililit masalah,” kata Wilson. Menurut dia, Wings pintar membaca peluang.

Terutama peluang pasar, Wings sangat fasih mengembangkan konsep-konsep pemasaran. Kendati cuma perusahaan lokal, ia sangat sadar membangun merek. Bagi Wings, siapa yang ada di belakang perusahaan mungkin tak terlalu penting. Yang penting, bagaimana produk dikomunikasikan dengan strategi
branding yang intensif. Maka, tak mengherankan, anggaran belanja iklan Wings sangat besar. Sumber SWA mengatakan, hanya untuk biro iklan DM pratama, tahun lalu billing-nya mencapai Rp 250 miliar. Angka ini sedikit lebih besar dari belanja iklan Unilever yang digelontorkan ke Lowe.

Kini, kendali bisnis di Wings sudah dialihkan ke generasi kedua, sementara sebagian generasi ketiga mulai dimagangkan di posisi strategis tertentu. Di Wings, pembagian kue antara keluarga Katuari dan Harjo Sutanto cukup halus dan tanpa gejolak. “Kami bersyukur menjadi satu tim. Di sini tidak ada you Katuari atau you dari keluarga Tan. Satu tim,” William menjelaskan dengan bersemangat.

Thomas juga mengamati, meski merupakan perusahaan keluarga, bisnis Wings solid. Soal pembagian warisan, meski menguasai sekitar 50% kepemilikan, keluarga Katuari tak mendominasi pembagian kekuasaan di grup. Dikatakannya, di beberapa perusahaan, keluarga Katuari tidak menjadi pucuk pimpinan. “Inilah yang membuat grup ini menjadi sangat solid. Bahkan dibandingkan dengan Grup ABC, Wings jauh lebih solid,” kata Thomas.

Wilson lebih lanjut melihat perkembangan Wings nampak lebih cepat setelah banyak peran dilakukan generasi kedua. Menurutnya, generasi pertama Wings sangat konvensional dan hanya meletakkan dasar perusahaan, sedangkan pengembangannya dilakukan generasi kedua. Dalam amatan Wilson, sejak 10 tahun lalu Ferdinand memercayakan penuh pengelolaan perusahaan pada anak-anaknya.

Wilson juga melihat peranan Ferdinand Katuari amat besar dalam membuka pasar luar negeri dan mengenalkan dengan sejumlah mitra penting seperti Liem Sioe Liong, Kodel, Grup Lautan Luas, Lion Corp. dan mitra asing lainnya. Soal hubungan Ferdinand-Om Liem, Thomas melihat keduanya merupakan pebisnis satu angkatan. “Secara historis memang tidak ada hubungan Salim dan Wings, tapi hubungan mereka cukup dekat,” ujarnya.

Thomas menambahkan, keberhasilan Wings dalam merambah pasar luar negeri juga tak lepas dari peran mitra-mitra mereka yang ikut dalam kongsi dalam membangun bisnis Wings di Indonesia. Sebut saja, Lion Corp. “Lion Corp. berperan sangat besar bagi Grup Wings, bukan hanya dalam membangun industri
bahan baku, tapi juga dalam mengembangkan R & D produk,” ujarnya.

Saat ini Wings makin serius menggarap pasar luar negeri. Ia kini juga melakukan branding sebagaimana di Indonesia. Hanya saja, kualifikasi produknya berbeda dari yang dipasarkan di Indonesia. William menjelaskan,
dalam menggarap pasar luar negeri pihaknya berusaha membuka kantor perwakilan dan merekrut orang lokal agar bisa mengerti pasar setempat. Sementara dari kantor pusat ada staf yang ditugaskan berkeliling memantau berbagai pasar tersebut. SWA mendapat kabar, untuk kebutuhan tenaga pemasar internasional ini, Wings telah merekrut seorang mantan profesional dari P & G.

Sementara itu, Hermawan Kartajaya, President MarkPlus & Co. meyakini, sukses Wings karena kombinasi manajemen keluarga (family business), dibantu para profesional andal. “Jangan bilang bisnis yang dipegang family itu jelek karena belum tentu profesional memikirkan nasib perusahaan. Kalau pemilik, sudah pasti memikirkan dengan sungguh-sungguh,” ungkap Hermawan yang juga berasal dari Surabaya. Menurutnya, family business membuat pengambilan keputusan lebih cepat dan lebih berani menempuh risiko. Hanya
saja, konsekuensinya, family business Wings menjadi perusahaan yang sangat tertutup dan menjauhi ingar-bingar publisitas yang dianggap tidak perlu.
-popo-